Pendataan yang Buruk untuk Kasus COVID-19 Berdampak pada Kegagalan Pemerintah Mengeluarkan Kebijakan
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Kamis, 3 Desember, angka penambahan kasus COVID-19 menyentuh angka 8.369. Papua menjadi salah satu penyumbang kasus COVID-19 terbanyak, yaitu 1.755 kasus.

Tim Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan, kasus yang tinggi di Papua bahkan menyalip DKI Jakarta dan Jawa Barat ini bukanlah angka harian kasus melainkan akumulasi sejak dua pekan lalu atau 19 November.

"Papua pada hari ini melaporkan sejumlah 1.755 kasus baru yang mana merupakan akumulasi dari penambahan kasus COVID-19 sejak tanggal 19 November hingga hari ini," kata Wiku dalam konferensi pers yang ditayangkan secara di akun YouTube Sekretariat Presiden, Kamis, 3 Desember.

Ini artinya, jika dibagi per 14 hari maka per harinya, Papua bisa melaporkan kurang lebih 125 kasus COVID-19. Namun, selama dua pekan lalu, Papua justru seringkali tak mencatatkan kasus baru. Atau kalaupun mencatatkan kasus baru, angkanya kerap di bawah 10 kasus.

Wiku menjelaskan, masuknya angka akumulasi ini disebabkan karena masih belum optimalnya sistem yang digunakan untuk mengakomodasi pencatatan, pelaporan, dan validasi data kasus COVID-19 secara real-time. Sehingga, beberapa kasus baru yang masuk adalah hasil akumulasi dari beberapa waktu sebelumnya. 

Guna mencegah hal ini kembali terjadi, dia meminta agar pemerintah daerah segera mengkonsolidasi data yang mereka miliki dengan pemerintah pusat.

"Kepada pemerintah daerah yang masih memiliki perbedaan data, kami imbau untuk melakukan konsolidasi data secara langsung dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesegera mungkin," tegasnya.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai, alasan semacam ini tidak tepat dan dianggap membuat kepercayaan terhadap data yang disajikan pemerintah kurang dipercayai masyarakat. Apalagi, Indonesia bukan baru kemarin menghadapi masalah pandemi COVID-19 tapi sudah sejak 10 bulan yang lalu.

"Kita kan sudah 10 bulan. Jadi masalah data ini tidak bisa selalu jadi alasan," kata Dicky saat dihubungi VOI.

Dia mengatakan, simpang siur data seperti ini, bukan hal yang baru sebab, sejak pandemi ini terjadi, pemerintah tak pernah melaporkannya secara real-time.

"Data kasus yang dilaporkan, dari dulu Indonesia kan enggak pernah melaporkan secara tepat. Tidak ada laporan hari ini dites, hari ini keluar. Jadi yang disampaikan Pak Wiku bukan hal yang baru," tegasnya.

Lebih lanjut Dicky mengatakan, kasus simpang siur data ini membuat pemerintah gagal dalam menilai pandemi COVID-19, yang mestinya dalam menangani virus ini harus berbasiskan data.  

Kegagalan menilai pandemi ini, sambungnya, juga berujung pada gagalnya pemerintah mengeluarkan kebijakan dan solusi terkait penanganan virus ini. Padahal, dia menilai, Indonesia sedang memasuki situasi yang serius karena pergerakan kasus COVID-19 yang makin meningkat dan positivity rate yang belum juga memenuhi standar World Health Organization (WHO), yang seharusnya di bawah lima persen.

"Kalau enggak disikapi serius, artinya ada kegagalan dalam menilai situasi dan mengakibatkan kegagalan mengambil langkah solusi kebijakan ini yang sudah cukup lama terjadi dan tidak bisa berlanjut," kata dia.